Wednesday, June 13, 2007

Pemerintah Diminta Konversi Bank BUMN Jadi Syariah

JAKARTA -- Asosiasi Bank Islam Indonesia (Asbisindo) meminta pemerintah mengkonversi salah satu Bank BUMN menjadi bank syariah. Hal tersebut untuk mendukung pencapaian pangsa perbankan syariah menjadi lima persen pada 2008. Saat ini, pangsa perbankan syariah masih sangat kecil sekitar 1,7 persen dari pangsa perbankan nasional ''Kami meminta pemerintah untuk mengkonversi satu bank BUMN menjadi bank syariah,'' kata Ketua Umum Asbisindo, Wahyu Dwi Agung kepada Wapres Jusuf Kalla dalam acara Munas ke-4 Asbisindo di Jakarta, Rabu, (13/6).

Menurut Wahyu, sistem perbankan syariah merupakan sistem perbankan alternatif dalam mendorong perkembangan sektor perekonomian nasional. Namun, meski sistem tersebut telah ada sejak Bank Muamalat berdiri pada 1992 lalu, peran perbankan syariah masih sangat kecil dibandingkan perbankan konvensional karena pangsa perbankan syariah masih sangat kecil.

Selain itu, terdapat sejumlah kendala yang cukup menghambat perkembangan perbankan syariah. Salah satunya adalah masalah perpajakan ganda. Hal tersebut terjadi pada penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Murabahah perbankan syariah. Sehingga menyebabkan perbankan syariah menjadi kurang kompetitif dibandingkan perbankan konvensional yang tidak terkena pajak ganda. Padahal, perbankan syariah menjalankan fungsi intermediasi seperti perbankan konvensional. ''Jadi, permasalahan double taxation (pajak ganda) cukup menjadi kendala bagi perkembangan perbankan syariah. Karena itu, permasalahan in harus segera diatasi,'' katanya.

Wapres, Jusuf Kalla memahami permasalahan perpajakan ganda yang terjadi pada perbankan syariah. Bahkan, hal serupa juga terjadi pada sektor keuangan syariah lainnya seperti pasar modal. Salah satunya adalah dalam penerbitan sukuk. Karena itu, permasalahan pajak ganda memang perlu segera diatasi. ''Memang permasalahan perpajakan terjadi tidak hanya bagi bank syariah tapi juga sukuk,'' katanya.

Karena itu, pemerintah tengah berupaya mengatas hal tersebut dengan mendorong pelaksanaan amandemen undang-undang perpajakan dan pembuatan RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang akan menjadi landasan bagi penerbitan obligasi syariah pemerintah.

Menurut Wapres, saat ini likuiditas dana tidak hanya terjadi di negara Eropa dan AS, tapi juga Timur Tengah. Hal tersebut dipicu meningkatnya harga minyak dunia. Namun, investor Timur Tengah membutuhkan instrumen investasi syariah seperti sukuk. Karena itu, saat ini pemerintah terus mendorong agar RUU SBSN dapat dibahas dan disahkan segera. ''Saat itu, likuiditas dana tidak hanya terjadi di Eropa dan AS seperti sebelumnya, tapi juga di Timur Tengah,'' katanya.

Berdasarkan data publikasi BI, aset perbankan syariah per April lalu tercatat meningkat 34,49 persen menjadi Rp 28,368 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu Rp 21,090 triliun. Sedangkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per April lalu tercatat meningkat menjadi Rp 22,008 triliun dibandingkan periode serupa tahun lalu Rp 15,189 triliun. Penyaluran pembiayaan per April lalu tercatat meningkat 28,71 persen menjadi Rp Rp 21,353 triliun dari Rp 16,590 triliun.

Di sisi pembiayaan, pembiayaan murabahah (jual beli) per April lalu tetap mendominasi seperti pada bulan-bulan sebelumnya. Hingga April lalu, pembiayaah murabahah mengkomposisi 60,85 persen atau bernilai Rp 12,993 triliun. Sedangkan, pembiayaan mudarabah dan musayarakah masing-masing pada kisaran 20,25 persen atau Rp 4,323 triliun dan 12,82 persen atau Rp 2,737 triliun. Sementara, pembiayaan istishna dan lainnya masing-masing 1,6 persen atau Rp 341,691 miliar dan 4,49 persen atau Rp 958,957 miliar.

Data BI juga menyebutkan, rasio pembiayaan bermasalah Non Performing Financing, (NPF) perbankan syariah per April lalu tercatat meningkat menjadi 6,14 persen dibandingkan periode sama tahun lalu 3,99 persen. NPF per April lalu tersebut tercatat bernilai Rp 1,311 triliun. Dari jumlah tersebut, pembiayaan macet tercatat berjumlah Rp 568,543 miliar atau mengkomposisi 2,66 persen dari total NPF. Sedangkan, pembiayaan diragukan dan kurang lancar masing-masing tercatat bernilai Rp 292,517 miliar atau 1,37 persen dan Rp 449,714 miliar atau 2,11 persen. Pembiayaan dalam perhatian khusus bernilai Rp 1,148 triliun atau 5,37 persen (sumber: Republika, Kamis, 14 Juni 2007)

No comments: